-Copas Dari Grup Sebelah-
Serangkaian aksi Bela Islam di penghujung 2016 telah melukis kebangkitan kekuatan Islam yang selama ini terpecah dan tercecer. Penistaan agama adalah momentum, dan propaganda Anti-Ahok
adalah alat konsolidasi tokcer mengumpulkan masa Islam. Koalisi longgar antara kelompok-kelompok Islam, FPI, MMI, HTI serta Ormas lain yang menyisip di dalamnya dapat kita teliti lebih dalam lagi. Terdapat tali-kelindan yang saling berinteraksi secara kokoh menguatkan satu sama lain yang bermuara pada kemenangan Anies di Pilkada DKI. Kasus Ahok hanya tuntutan antara, Ahok adalah pintu masuk radikalisasi Islam menancapkan kekuatannya. DKI Jakarta adalah medan tempur baru bagi kelompok Islam Trans-Nasional menunjukkan kekuatannya. Jakarta adalah kunci.
Untuk mendirikan khilafah memang tidak mudah. Perjuangannya mensyaratkan strategi yang jitu, militansi kader, dana yang besar dan sosok yang mempersatukan. Anies adalah sosok yang tepat diposisikan sebagai tokoh yang “laku dijual” menjadi juara saat ini, Anies hanya seringkali terlihat sangat haus akan kekuasaan. Inilah peluang yang dimanfaatkan secara baik oleh kelompok pendukung Khilafah Islamiyah saat ini. Terlebih lagi Anies adalah sosok yang cerdas, pandai bertutur, dan perawakannnya Arab, semakin cocok dengan selera banyak kalangan masyarakat pemuja perawakan Arab. Anies adalah sosok yang berkesuaian dengan kebutuhan gerakan Radikal Khalifah Islamiyah.
Dalam gerakan politik Islam, sama sekali tak diharamkan melancarkan startegi mengkapitalisasi situasi. Salah satu yang tengah mendapat angin adalah Hizbut Tahrir. Di Indonesia, HTI kini lebih gencar dan bernas menampakkan semangat ideologisnya. HTI didirikan pada 1953 di Al-Quds Palestina, dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama alumni Mesir dan pernah menjadi hakim di Palestina. HTI mengedepankan ideologi Khilafah Islamiyah yang terkoneksi dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Di Indonesia sejak 1980an, HTI lebih dominan bergerak di bawah tanah karena belum memiliki pengaruh ke dalam kekuasaan, kecuali ikut ambil bagian dalam mobilisasi aksi bela Islam (demonstrasi) sebagai taktik oportunis, namun tetap mengusung jargon anti-demokrasi dan nasionalisme. Pada awal pergerakannya HTI memanfaatkan dakwah di dalam masjid kampus, perumahan dan perkantoran. Di Indonesia, HTI tetap menganggap Pancasila bertentangan dengan Semangat Khilafah Islamiyah. HTI telah menjadi organisasi ilegal di Libanon, Suriah dan Yordan. Namun di momentum elektoral DKI Jakarta, HTI tak perlu takut, segan dan malu-malu ikut dalam demonstrasi besar menolak Ahok dan ikut dalam barisan mendukung pencalonan Anies. Ismail Yusanto, Jubir HTI bahkan secara terang benderang telah berusaha mengadu domba antara Ahok dan NU. Hal ini menggambarkan adanya pembagian peran yang sistematis antar aktor-aktor anti Ahok.
Aktor berikutnya yang patut dicermati adalah Ikhwanul Muslimin (IM) yang berpusat di Ismailiah, Mesir. IM berdiri sejak 1928 oleh Syaikh Hasan Al-Banna yang mengakomodir kelompok Salafy yang Wahabi sehingga kelompok ini kian besar seiring waktu. Dalam strukturnya terdapat institusi/biro rahasia jihadist bernama Tandhimul Jihad dibawah komando langsung IM. IM masuk ke Indonesia melalui mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir, kelompok ini dinamakan Usrah. Satu Usrah minimal 7 orang dan maksimal 10 orang dan ada Amir sebagai penanggung jawab. IM memuthakirkan gerakannya di Indonesia melalui gerakan politik yang menamakan dirinya Tarbiyah, inilah bibit dari salah satu Partai Islam yang lumayan besar di Indonesia sejak 1998. Secara simbol HTI, IM dan PKS memang ada kesamaan yaitu bercelana cingkrang dan berjenggot. Secara paradigmatik mereka menganggap yang paling Islam, diantara kelompok Islam.
Dalam kelembagaan dan formalisasi berdirinya syariah islam, Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin bertemu dalam kutub yang sama. Dalam perjuangan dan strategi yang terbatas juga mengalami kecocokan dengan PKS. Semua aktor-aktor ini amat gemar mencari sarana jihad dan bertemu pada titik pintu terakhir, yaitu Istilamul Hukmi (merebut kekuasaan). Modus operandinya adalah merekrut pemuda-pemudi yang tidak kritis, dan mudah dipengaruhi dan secara struktural tergolong ke dalam masyarakat ekonomi lemah dan memobilisasinya dalam isu sektarian menjadi gelombang aksi yang besar, kemudian mengganti rezim dan sistem sebuah negara.
Potongan-potongan analisis aktor tadi kian utuh menjadi gambaran yang jelas takkala , Anies Baswedan bertemu dengan Rizieq Shihab (FPI) pada 1 Januari 2017 lalu. Dari kacamata politik, keduanya memiliki kecocokan visi dan misi yang sejalan. Kalau mau menang, maka Anies harus suwon ke FPI dan FPI akan mendayagunakan segenap kekuatannya untuk memenangkan Anies. Terlebih Rizieq Shihab telah mendaulat diri sebagai Imam Besar Umat Islam. Padahal, sulit untuk menghindari identitas FPI yang terasosiasi dengan kekerasan dan radikalisme gerakan Islam. Bahkan jubir FPI Munarman telah membaiat secara massal anggota ISIS di Sudiang, Sulawesi Selatan (01/2015).
Bahkan kini tengah beredar Foto Anies Baswedan bersama Hidayat Nur Wahid, dan Yusuf Qaradhawi(pemimpin ISIS) di Doha pada 2009. Bukan tidak mungkin Anies telah didesign sejak lama menjadi sosok yang membawa agenda Khilafah Islamiyah Trans-Nasional di Indonesia, dengan DKI Jakarta sebagai pintu masuknya. Yusuf Qaradhawisejarahnya memfatwa mati Qaddafi (Libia), bahkanQaradhawi telah memfatwa mati semua pendukungAssad termasuk ulama seperti Syekh Al Buthi (lihat wawancara Yusuf Qaradhawi di TV Al Jazeera (Qatar) 2013). perlu diketahui bahwa buku-buku Yusuf Qaradhawi adalah bacaan wajib bagi kader PKS.
Anies, Habib Rizieq (FPI), HTI, IM, PKS dan ISIS telah memainkan suatu operasi yang sistematis dalam menjalankan agenda tegakknya Khilafah Islamiyah. Momentum Pilkada DKI adalah proyek ujicoba yang secara ideologis dapat menjadi sarana pembesaran ideologi Radikal Islam. Peluang sekecil apapun akan dimanfaatkan sebaik mungkin. Posisi Indonesia teramat penting untuk diabaikan dalam agenda perluasan penguasaan ideologi trans-nasional termasuk Khilafah Islamiyah dan kembali lagi, rakyat DKI Jakarta adalah penentunya.
Foto : Istimewa
Labels:
Politics
Thanks for reading Jakarta adalah Kunci. Please share...!