Jakarta, (WWT) - Diamnya Jokowi, memberikan siratan ribuan makna. Bersama Sandiaga Uno di satu stadion, namun apa yang dilakukan Pak De? Ia tertawa dan menikmati kebersamaan dengan sang menteri. Teman sebelah, menandakan sebuah bentuk acuh tak acuh sang Presiden terhadap wakil gubernur.
Wakil gubernur terlihat diam dan merenung, ketika Jokowi tertawa lebar bersama para jajaran menteri. Merayakan kesuksesan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI terdahulu yang dipimpin oleh Ahok dan Djarot, dalam membangun stadion termegah di Indonesia.
Murungnya Sandiaga Uno, mempertontonkan bahwa dirinya sudah tidak tahan berada di tengah kegembiraan dan keterbukaan pemerintah pusat. Apa yang ia pikirkan? Mungkin saja janji-janji politik yang mulai tak terbendung dan tak tertahankan.
Pedihnya rasa sakit dalam sayatan janji politik dari berbagai pihak, salah satunya program anti-gusur maupun program becak, mulai tidak bisa dibendung oleh Sandiaga. Mental tempe, sehingga wajahnya pun terlihat tertekan.
Saya cukup yakin, ketika Ahok, sahabat Jokowi dizalimi, Presiden menyimpan rasa duka yang mendalam. Namun ia tidak tunjukkan di ranah publik. Mengapa? Karena ia adalah sang presiden. Ia bukan merupakan orang yang dilihat lemah.
Politik di Indonesia begitu besar baginya, sehingga ia harus sembunyikan perasaan sedihnya terhadap Ahok. Saya cukup yakin, Jokowi adalah orang yang bersimpati terhadap keadaan sahabat sejatinya, Basuki Tjahaja Purnama.
Di mana posisi Gubernur magang Baswedan? Ternyata di hari yang sama, ia sedang berkumpul bersama Aa Gym dan para jemaatnya. Mereka asyik sendiri, terlihat bagaimana Gubernur magang melakukan posting di Twitternya, menandakan ia tidak mau kalah asyik dibandingkan Jokowi.
Meresmikan stadion, tanpa keberadaan Gubernur magang, menjadikan Pak De luar biasa. Gubernur magang tidak berarti apa-apa, bahkan dalam kursi gubernur pun, ia tidak dianggap oleh presiden. Presiden memalingkan wajahnya dari sang gubernur, dan itu adalah keadaan yang sangat menyakitkan. Rasa-rasanya tersayat, namun tidak berdarah.
Di sisi lain, melihat sang gabener bersama ulama, AA Gym, karena dicuekin oleh Jokowi, saya memiliki analisis tersendiri. Gubernur magang sudah tidak tahan berada dekat-dekat presiden. Aura “kerja, kerja dan kerja” begitu menghantui Gubernur magang yang hanya bisa “ngomong, ngomong dan ngomong”.
Mentalitas yang saling bentur ini, membuat Gubernur magang tidak tahan, dan ia lebih memilih untuk pergi, meninggalkan sang instruktur senam, wakilnya. Wakilnya dibiarkan tersakiti sendiri di tengah-tengah kegirangan para jajaran menteri dan Jokowi.
Gubernur magang bukan teman yang baik bagi Sandi. Sandi yang dihantam dengan senyum, ditinggalkan sendirian, terluka, namun tidak berdarah. Ketiadaan Gubernur magang di dalam perayaan besar peresmian stadion GBK, menunjukkan bahwa dirinya tidak memiliki sedikitpun rasa solidaritas.
Di hadapan Ahok pun, Gubernur magang tak bisa menahan wajahnya yang murung. Wajah tidak pernah menipu mimik seseorang. Perasaan seseorang, paling mudah dilihat melalui wajahnya. Ahok yang begitu ceria pada saat menyambut gubernur magang di Balai Kota, pun tidak bisa menutupi wajah bahagianya. Kalah kok bahagia? Sedangkan gubernur magang yang menang pada saat itu kok malah muram?
Inilah yang kita sebut sebagai paradoks. Sifat paradoks dari kemenangan dan kekalahan benar-benar muncul. Saya yakin, Gubernur magang yang belajar dari hal ini, tentu tidak berani hadir ke dalam peresmian stadion utama Gelora Bung Karno. Ia sengaja melawan yang seharusnya.
Ia malah mendatangi Aa Gym, sebagai bentuk pelariannya dalam kenyataan. Bayangkan, stadion utama GBK yang dibangun oleh Ahok Djarot, ditinggalkan begitu saja oleh Gubernur magang. Apa yang bisa saya simpulkan lagi, kecuali memang si gubernur magang ini memendam rasa cemburu?
Rasanya mudah sekali bagi kita untuk melihat bagaimana Anies tidak tahan, disakiti oleh keberadaan Jokowi. Saya sampai berkesimpulan bahwa keberadaan Jokowi merupakan ancaman bagi Anies, yang benar-benar tidak bekerja dan hanya berkata-kata.
Bahkan ada yang bercanda satir dengan cukup parah, bahwa ketika Jokowi meresmikan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Anies masih asyik mengorek lumpur dengan tangan kosong tanpa alat. Ini adalah satir tercerdas yang pernah saya temukan.
Hahaha.
Betul kan yang saya katakan?
Jika pembaca Seword ingin melihat dan menikmati buah pemikiran saya yang lainnya, silakan klik link berikut: https://seword.com/author/hans-sebastian/
Atau silakan add Facebook saya Hysebastian
Sumber : Sate Jawa
Foto : Istimewa
Labels:
Pola Pikir,
Prilaku Pemimpin
Thanks for reading Cantiknya Politik Diam Jokowi, Bikin Anies Makin Teriris, Namun Tak Berdarah. Please share...!