Ketika Sunda Menjadi Arab
Jawa barat - menurut Wahid Foundation - adalah provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi.
"Tingginya angka intoleransi di Jawa Barat menjadi kontradiktif dengan kultur dan budaya masyarakat Sunda sebagai 90 persen suku yang tinggal di Jabar yang terkenal sebagai masyarakat yang toleran, optimistis, periang, sopan, dan bersahaja," Begitu kata Mujahidin Nur Direktur The Islah Center TIC.
Memang kontradiktif. Betapa semua keluhuran tinggi budaya Sunda yang tercermin dari rakyatnya, menuju binasa dengan masuknya budaya timur tengah yang mulai mendominasi. Orang-orang sunda banyak yang lebih suka pakai gamis dengan gaya Arab daripada pakaian daerahnya. Mereka sudah banyak juga yang sibuk dengan bahasa Arabnya daripada bahasa Sunda.
"Kultur masyarakat Sunda yang berubah, banyak dipengaruhi oleh kedekatan daerahnya dengan Jakarta.." Begitu kata seorang teman yang bersuku Sunda. "Tumbuh kota-kota metropolis dengan perkembangan bangunan yang pesat, menghilangkan ciri pedesaan yang sudah melekat di masyarakat Sunda.
Ada gegar budaya - culture shock - ketika masyarakat Sunda harus mengikuti perkembangan metropolitan. Bahkan tidak ada lagi ciri-ciri kesundaan di gedung-gedung kota, seperti di Bali dan Jogja. Hilang. Sunda menjadi tidak sunda lagi.. " Keluhnya.
"Akhirnya, karena kebingungan dengan hilangnya budaya itu, warga Sunda mencari pegangan lain, dengan agama. Dan masuklah pengaruh Arab yang sangat kuat di wilayah Sunda. Bukan masalah agamanya, tetapi dengan penjajahan budayanya.." Dia merenung sambil menyeruput kopinya.
"Lihat saja di Puncak sana, banyak sekali tulisan Arab menunjukkan hilangnya identitas Sunda dalam pergaulannya. Puncak menjadi sangat Arab, dan orang Sunda tersingkir, hanya menjadi komoditas dalam kesehariannya.."
"Jadi wajar jika Jawa Barat akhirnya menjadi provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi, karena budaya timur tengah di daerah asalnya saja suka ribut sendiri diantara mereka. Dan budaya itu dibawa kesini.." Secangkir kopi lagi ditambahkan sebagai penyemangat..
"Apa yang kamu harapkan supaya Sunda bisa menjadi sunda lagi ?" Tanyaku lagi.
"Seorang pemimpin dengan jiwa kesundaannya yang sejati. Bukan yang sibuk politisasi agama untuk meraih suara. Yang sibuk menyalurkan kredit ke masjid-masjid supaya mengikat mereka. Yang sibuk mengukur mayoritas dan minoritas berdasarkan apa agama mereka. Mayoritas difasilitasi, minoritas dilindungi, itu maksudnya apa ?
Yang sibuk mengadakan shalat subuh berjamaah yang bernuansa politis, tapi lupa mempertahankan budaya. Yang sibuk membangun gedung dan taman, tapi lupa akar masyarakat Sunda.." Dia nyerocos tanpa henti mengungkapkan uneg di dadanya.
Dan dia berdiri sambil mengakhiri pidatonya.
"Sebenarnya sudah ada pemimpin urang Sunda yang melawan budaya itu terang-terangan. Dia dimusuhi oleh ormas berbaju agama sejak lama. Rekam jejaknya bisa dibaca dimana saja. Dia melakukan penentangan itu bukan karena politis atau karena kampanye, tapi karena kecintaannya pada tanahnya, pada sukunya, pada leluhurnya, pada akarnya..
Dia harapan kami, supaya kepala kami bisa tegak berdiri kembali sebagai urang Sunda di tanah Sunda. Beri dia kesempatan. Perang mengembalikan budaya Sunda ini panjang, tetapi harus dimulai. Dan itu harus dimulai.. "
Temanku dengan ikat kepala khas suku sundanya berlalu. Dia pergi membawa mimpi, yang harus dia perjuangkan sekarang ini.
Tanggal 27 Juni adalah waktu dia dan teman-temannya seideologi memperjuangkan akarnya kembali.
Selamat berjuang, saudaraku. Sunda adalah identitas kalian. Semoga engkau bisa memilih pemimpin yang kalian cita-citakan..
Salam secangkir kopi..
Denny Siregar
Sumber : Sate Jawa
Foto : Istimewa
Sumber : Sate Jawa
Foto : Istimewa